Candi Borobudur Sebagai Penunjuk Waktu Masa Lampau

Candi Borobudur, saksi kemegahan religi Wangsa Sailendra yang hingga kini masih menyimpan sejuta makna. Candi Budha Mahayana yang dibangun tahun 800 Masehi ini terdiri dari tiga bagian besar yakni Kamadatu, Rupadatu dan Arupadatu. Sebuah perlampang tingkatan kehidupan manusia dari lahir hingga mencapai nirwana. Sejuta makna candi warisan budaya dunia ini seakan terlihat dari bentuk candi yang berbentuk mandala. Mandala diartikan sebuah lingkaran sebagai penggambaran empat Budha menhadap empat penjuru mata angin yang mengelilingi Budha tertinggi.

Image by : flickr.com

Waktu menjadi sebuah penanda dari kita untuk memulai awal yang baru. Dan dengan waktu kita dapat mengetahui kapan kita harus memulai aktivitas. Kemajuan teknologi membuat kita memudahkan untuk mengetahuinya dan melihat arloji di tangan serta melihat jam dinding kita pun dapat dengan mudah memulai aktivitas tersebut. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2010 hingga tahun 2011 oleh tim gabungan dari Archeo Astronomi Institute Teknologi Bandung, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional dan BMKG mengungkap fakta bahwa struktur bangunan Candi Borobudur dijadikan sebagai alat penunjuk dan penanda waktu.

Baca Juga :
Mengenal Kabupaten Ende Melalui Sejarah dan Daya Tariknya
Menguak Tabir Kedigjayaan Gunung Tambora

Bulan Maret dan September adalah waktu yang dipilih oleh para peneliti untuk melakukan risetnya. Di Maret dan September Matahari berada tepat diatas garis katulistiwa bumi, hal ini menyebabkan panjang waktu siang dan malam menjadi sama (12 jam) atau dikenal sebagai vernal ekuinok. Tim peneliti pun berkesimpulan, akurasi arah yang sangat tinggi menunjukkan Candi Borobudur dibangun berpatokan pada arah mata angin. Ketika angin berada di atas garis khatulistiwa, bayangan stupa utama jatuh lurus ke arah timur barat.

Kalau Matahari mulai bergeser menginggalkan ekuator serupa jam, bayangan stupa utama apapun akan bergeser dan berputar ke enam belas stupa kecil yang mengelilinginya. Inilah dasar dugaan tim peneliti yang menyimpulkan stupa utama Borobudur menjadi patokan arah utama sekaligus penanda waktu. Sebelum pengaruh India pada agama Hindu dan Budha datang, keahlian astronomi telah dimiliki oleh penduduk Pulau Jawa. Hal ini tergambarkan dari beberapa relief yang berisi simbol kapal layar pada dinding Candi Borobudur. Sebagai bangsa bahari kala itu penduduk Pulau Jawa menggunakan bintang sebagai penunjuk arah.

Ursa Major atau bintang kutup utara menjadi patokan para pelayar Mataram Hindu untuk menentukan arah utara. Para peneliti menemukan hubungan antara rasi ursa mayor dengan kemampuan navigasi para pelaut dengan penanda datangnya masa tanam. Jawabannya ada pada pahatan berupa relief tujuh lingkaran yang diapit bulan sabit dan matahari. Tim Archeo Astronomipun menduga simbol gugus bintang pleades yang terdapat dalam rasi bintang taurus adalah panduan bagi penduduk Mataram Hindu dalam menentukan mulainya waktu bercocok tanam atau yang lebih dikenal dengan istilah Pranoto Mongso.

Sistem penanggalan tersebut dimulai pada tahun 1856 oleh Kasunanan Surakarta. Pranoto Mongso memiliki 12 urutan yang harus diperhatikan datangnya selama satu tahun. Meski demikian masyarakat Mataram Hindupun menggunakan matahari sebagai patokan Pranoto Mongso. Hal ini berdasar pada pergerakan bayangan matahari pada stupa utama Candi Borobudur yang jatuh pada stupa-stupa kecil di sekelilingnya. Inilah penghormatan masyarakat kala itu terhadap matahari. Struktur Candi Borobudurpun seakan menegaskan hal ini.

Berpatokan pada Kitab Lalitavistara, seluruh pahatan Candi Borobudur terdiri dari empat bagian yang melambangkan perjalanan hidup Sang Budha Gautama dari lahir hingga mencapai nirwana. Bagian pertama Budha Jati berawal dari sisi tenggara Borobudur dan berputar searah jarum jam hingga mencapai tahap tertinggi Pari Nirwana. Arah timur ini adalah perlambang penghormatan kepada sang surya. Candi Borobudur menjadi peninggalan leluhur bangsa Indonesia yang tak hanya syarat dengan nilai filosofi tetapi juga menjadi salah satu jejak astronomi yang pernah ada di nusantara.

Kemegahan Candi Borobudur tak hanya menjadi sebuah bukti kebesaran dari para leluhur kita pada saat itu, vitalnya keberaan Candi Borobudur ini juga tergambar dari setiap relief serta letak stupa yang ada di sekitar candi utama. Namun benarkah jika letak stupa ini menjadi sebuah bukti dan penanda dari perubahan waktu ke waktu ataukah ada arti lain dari pembangunan Candi Borobudur.


Sumber : Rahasia Zaman Trans7

Seni Bali Begitu Mempesona, Luar Biasa dan Sudah Diakui Dunia

Jika orang Ambon identik terlahir memiliki talenta suara yang merdu, maka di Bali seolah masyarakatnya terlahir memiliki jiwa seni yang tinggi dan begitu beragam. Itulah mengapa ketika kita mengunjungi Pulau Dewata nuansa seni begitu terasa. Tentu ada alasan mengapa kesenian di Bali tidak pernah mati dan bahkan seolah sudah mendarah daging. Selain dianugerahi Surga Bahari nan menawan, Bali juga memiliki pesona seni dan budaya yang sudah hidup sejak abad ke-8 Masehi.

Image by : flickr.com

Beragam kesenian hadir dan menjadi bagian dalam aktivitas keagamaan sekaligus menjadi daya tarik wisata yang mengagumkan. Dari mulai seni tari, seni patung, seni lukis, dan beraneka jenis kesenian lainnya. Tersebutlah UBUD, sebuah kecamatan di Kabupaten Gianyar yang yang menjadi saksi tumbuh kembangnya kesenian Bali. Di dalam penelusuran ke Pulau Dewata, maka akan timbul pertanyaan mengapa seni begitu melekat di wilayah Ubud. Ubud pun dikenal sebagai gudang seni, julukan yang selaras dengan paras wilayah yang berpopulasi sekitar 30 ribu jiwa ini.

Baca Juga :
Mengenal Kota Padang Dan Perkembangannya
Mengenal Kabupaten Ende Melalui Sejarah dan Daya Tariknya

Salah satu wujud kreasi seni yang mudah ditemukan dan terikat erat dengan Bali adalah patung yang menghias Pura. Tidak hanya sebagai pelengkap estetika bangunan, pada setiap wujud bangunan, ukiran dan karya tersimpan kandungan makna yang begitu kuat. Agama Hindu yang dianut oleh 85% masyarakat bali juga memacu perkembangan seni patung sekaligus memperluas mata pencaharian para seniman. Namun pengabdian kepada sang penciptalah yang membuat para seniman terus bersemangat untuk melestarikan kreasi seni ini.

Tidak hanya seni patung, Bali juga sangat terkenal dengan seni lukisnya. Berbicara tentang seni lukis Bali, maka nama Lootunduh tak bisa dikesampingkan, karena desa inilah yang tersohor dengan julukan kampung lukis. Bakat seni lukis lahir dan berkembang di desa seluas 627 hektar ini. Tak dipungkiri, pasang surut serta pergeseran gaya pernah terjadi akibat arus modernisasi. Tema budaya dan alampun beralih menjadi corak abstrak. Namun tingginya jiwa seni serta kuatnya pengaruh budaya dan lingkungan tak mampu melumpuhkan eksistensi seni lukis khas Bali.

Ternyata selain pengaruh adanya kerajaan, ketenteram wilayah selama masa kolonial juga berpengaruh dengan tumbuh suburnya seni di wilayah Ubud. Jika dicermati sebenarnya keahlian masyarakat dalam hal seni tidak hanya ditemukan di wilayah Ubud saja, tapi merata di setiap sudut Pulau Dewata. Lagi-lagi timbul sebuah pertanyaan, adakah unsur keturunan yang membuat seni begitu melekat pada masyarakat Bali? Hasil penelitian peraih hadiah nobel tahun 1981 dalam bidang medis Prof. Roger Wolcott Sperry melahirkan kesimpulan bahwa ilmuwan berotak kiri sedangkan seniman berotak kanan. Dimana kemampuan otak kanan dominan terjadi pada pengguna aktif tangann kiri.

Jika memang unsur keturunan tidak begitu dominan, lantas adakah semacam kultur keharusan bagi generasi penerus di Bali untuk melanjutkan tradisi yang telah membudaya ini? Menyelami setiap wujud seni akan membuat kita merasa semakin takjub. Seni yang tidak terpisahkan dengan kehidupan dan ritual agama. Seni yang juga dikagumi oleh seluruh bangsa di dunia. Dari peradaban tradisi seni di Bali lahir dan melalui keyakinan serta keteguhan hati, talenta seni terus tumbuh mendarah daging bahkan berkembang di masyarakat Bali. Tak pandang modernisasi hingga saat ini kita masih dapat menikmati sentuhan tradisi dan hasil karya seni Bali.


Sumber : Rahasia Zaman Trans7   


Pesona Indah Dataran Tinggi Dieng

Perlahan sinar sang surya menerangi dataran tinggi Dieng, mahakarya Sang Pencipta yang memberikan kehidupan bagi makhluknya. Dataran Tinggi Dieng adalah hasil letusan gunung berapi purba yang mengalami penurunan drastis pada ribuan tahun lalu. Hasilnya, kaldera-kaldera disertai kawah khas gunung api terlihat mengelilingi bumi sanghyang ini. Layaknya bekas gunung berapi purba, Dieng memiliki kawah yang tersebar di seluruh wilayahnya. Kawah Sibanteng, Kawah Sikidang, Kawah Sileri, Kawah Sinila, serta Kawah Timbang adalah kawah-kawah aktif yang berada di Dataran Tinggi Dieng.

Image by : flickr.com

Dari sekian kawah yang dimiliki Dieng, Kawah Sikidanglah yang banyak menarik perhatian pengunjung. Kawah Sikidang atau Sikijang adalah kawah paling populer yang berada di Dataran Tinggi Dieng. Uap gas yang berpindah-pindah dari kawasan luas ini laksana kijang yang melompat menjadi pemandangan yang menarik. Uap gas yang tidak beraturan ini selalu mempesona setiap pengunjung. Jejak-jejak perpindahan uap panas Sikidang dapat dilihat dari beberapa tempat yang terlihat tanahnya berwarna hitam.

Baca Juga :
Menguak Tabir Kedigjayaan Gunung Tambora
Mengenal Kabupaten Ende Melalui Sejarah dan Daya Tariknya

Konon Kawah Sikidang berasal dari kisah seorang Raja yang bernama Rajang Kidang Garungan yang berhasrat mempersunting Ratu Sinta Dewi. Sang Ratu yang tidak berkenan atas suntingan Raja Kidang Garungan meminta syarat agar dibuatkan sumur sebagai perlambang cintanya. Naas bagi Sang Raja, keiinginannya mempersunting Ratu Sinta Dewi dibalas dengan tindakan mengubur Sang Raja dalam sumur yang dibuatnya sendiri. Dari legenda inilah kemudian muncul Kawah Sikidang.

Secara ilmiah Dieng berada di dataran tinggi aktif. Aktivitas dapur magma yang berada di dalam perut Kawah Sikidang terlihat dari air kawah yang bergolak serta gas yang dikeluarkan secara terus-menerus ke udara. Namun dibalik keindahannya, kawah sikidang menyimpan potensi bahaya. Proses pemanasan magma di dalam perut bumi menghasilkan gas monoksida dan karbon dioksida. Gas inilah yang dihasilkan Kawah Sikidang. Setiap pengunjung yang datang tanpa sadar akan menghirup gas ini karena sifatnya yang tidak berwarna dan tidak berbau.

Dalam ambang batas aman manusia dapat menghirup gas karbondioksida yang berada di dalam kadar 0,5 persen volume atau 500 mg per liter. Gas karbondioksida akan berbahaya bila kadarnya naik menjadi 25.000 mg per liter. Sebuah peristiwa pada tahun 1979 menjadi bukti betapa besar bahaya yang mengintai dibalik keindahan kawah-kawah Dataran Tinggi Dieng. Kala itu Kawah Sinila Menggeliat mengeluarkan letusan disertai gas. Letusan ini menyebabkan 149 orang tewas akibat menghirup gas beracun yang keluar dari Kawah Sinila.

Tiga puluh dua tahun kemudian, tepatnya pada bulan Juli 2011, Kawah Timbang juga menggeliat. Sepuluh kali kegempaan dan letusan yang terjadi menyebabkan konsentrasi karbon dioksida kawah timbang meningkat dari 0,1 persen menjadi 1,6 persen. Jika dengan 0,1 persen karbondioksidan bisa mematikan binatang dan tanaman, peningkatan C02 diambang batas 0,1 persen berpotensi mematikan bagi manusia. Kawah Sikidang memiliki konsentrasi gas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kawah-kawah lainnya. Hal ini disebabkan karena letak Kawah Sikidang berada di sebelah barat Dataran Tinggi Dieng. Selain itu Kawah Sikidang ternyata memiliki kandungan belerang yang tinggi yakni sekitar 100 mg per liter.

Manusia pun mulai memanfaatkan sumber energi panas berlimpah yang dimiliki Dataran Tinggi Dieng. Sebuah pembangkit listrik tenaga panas dibangun sebagai sumber energi alternatif yang menghasilkan listrik. Menerangi Pulau Jawa hingga Pulau Bali memanfaatkan mahakarya Sang Pencipta bagi kemaslahatan hidup manusia. Dalam Bahasa Kawi, Dieng bermakna pegunungan tempat bersemayamnya para dewa dewi. Dieng layaknya surga dunia yang diberkahi panorama alam yang indah dengan hasil buminya yang juga berlimpah.

Denyut nadi perekonomian warga Dieng seakan tidak pernah berhenti. Memanfaatkan keberkahan yang disajikan alam Dieng. Pesona Dieng telah menghipnotis begitu banyak orang untuk datang dan kembali kemudian datang lagi. meski pesona yang disajikan begitu menggoda, ancaman gas beracun tetaplah membayangi. Hidup harmonis bersama alam adalah kesadaran yang harus tetap ditumbuhkan pada setiap diri manusia.

Manusia haruslah bisa memilih dan memanfaatkan sumber kekayaan alam sesuai dengan batas kebutuhan. Karena keseimbangan antara hidup dan kehendak alam adalah hal yang utama. Fenomena alam yang dimiliki oleh kawah sikidang seolah memperkuat warisan alam yang dimiliki Dataran Tinggi Dieng ini. Meskipun mereka memiliki kandungan gas yang sangat berbahaya, namun mereka justru memberikan manfaat yang sangat besar bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Dan kini pengenalan serta pengetahuan dirasakan sangat perlu agar masyarakat dapat mengantisipasi gejala alam yang tidak menentu ini.



 

Kategori

Kategori