Gudeg Jogja, Sebuah Masakan Khas Yang Sangat Terkenal di Nusantara

Jogjakarta, kota istimewa dengan beragam budaya. Setiap sudut kota Jogjakarta seakan menawarkan keindahan yang memanjakan setiap penikmat wisata. Mengunjungi Jogjakarta tak lengkap rasanya bila tidak mencicipi masakan yang menjadi ciri khas kota pelajar ini. Gudeg, iya itulah namanya. Gudeg adalah bagian yang tak bisa dipisahkan dari kenikmatan Jogjakarta yang istimewa. Kenikmatannya nyaris tak pernah gagal menarik lidah banyak orang.

Image : flickr.com

Lebih dari sekedar ikon, Gudeg pun telah menjadi nama lain dari Jogjakarta. Dengan mudahnya kita dapat menemukan Gudeg dijajakan di setiap sudut kota Jogjakarta. Mengunjungi atau menetap di Jogjakarta pun belum dianggap paripurna jika belum menyantap Gudeg. Ada sisi yang belum terurai dari Gudeg. Banyak tanya mengenai asal usul Gudeg namun tenggelam dalam cita dan rasa khasnya.

Baca Juga :
Anda Ingin Merasakan Sate Kuda? Nikmatilah Sensasinya Di Lokasi Yang Ada Di Palembang

Gudeg memang menjadi makanan wajib yang harus dikunjungi ketika kita datang ke Jogjakarta. Rasanya yang khas seolah menggambarkan kemanisan dari wilayah yang merupakan kerajaan Mataram ini. Pada kesempatan kali ini mari kita coba membahas dari mana asal usul makanan yang menjadi makanan khas kota pelajar ini.  Dan bagi anda para penggilanya, anda wajib tahu ini.

Untuk mendapatkan jawabannya beberapa pertanyaan pernah ditanyakan kepada beberapa warga Jogjakarta. Jawabannya pun beragam, ada yang menjawab bahwa Gudeg itu berasal dari Jogja, ada yang menjawab tidak tahu, ada yang menjawab Gudeg itu dari Jawa, dan ada pula yang mejawab bahwa Gudeg itu berasal dari Keraton. Namun yang jelas ada sebuah cerita yang mengisahkan tentang asal usul Gudeg Jogjakarta.

Konon Gudeg muncul bersamaan dengan dibukanya hutan Mentaok atau Alas Mentaok yakni tempat awal berdirinya Kerajaan Mataram. Pohon Nangka dan Kelapa yang banyak tumbuh di hutan Mentaok dimanfaatkan warga mataram dulu sebagai masakan rakyat. Kala itu pohon Nangka melimpah dan menjadi tanaman yang bebas ditanam oleh rakyat diantaranya tanaman yang dimonopoli oleh penjajah Belanda.

Menurut Prof. Dr. Ir. Murdijati Gardjito pernah mengatakan ‘’Orang Mataram dulu mengawetkan Gudeg supaya tidak memasak setiap hari. Mereka mencoba memperlama masakan yang mereka buat itu. Ternyata tidak menjadi hancur, tetapi malah menjadi bercampur dengan baik dengan jalan diaduk. Oleh karena itulah dinamakan Gudeg berasal dari Hangudeg. Jadi Gudeg memang tidak pernah lahir di Keraton tetapi lahir di kalangan rakyat.

Sebuah cerita yang lainnya pun menambah bumbu misteri asal usul penamaan Gudeg. Alkisah pada masa penjajahan kolonial, tinggal seorang pria Inggris beristrikan wanita Jawa di Jogjakarta. Untuk menghormati tradisi Jawa, pria Inggris ini memanggil istrina dengan dengan sebutan Dik. Suatu hari sang istri ingin membuatkan sebuah masakan bagi suaminya yang sedang bekerja.

Hingga akhirnya sang istri teringat sebuah masakan yang terbuat dari nangka muda resep peninggalan keluarga. Sang suami yang tergiur dengan aroma masakan sang istripun melahap masakan berbahan nangka muda itu. Saking lezatnya masakan sang istri, pria Inggris inipun berseru ‘’Its Good Dik’’. Dari sinilah kata ‘’Good Dik’’ bermetamorfosis menjadi Gudeg.

Seiring perjalanan waktu Gudeg menjelma menjadi santapan yang disajikan dengan cita rasa berbeda. Pada dasarnya Gudeg terdiri dari dua jenis yakni Gudeg yang berbahan nangka muda atau gori dan Gudeg yang menggunakan bunga pohon kelapa. Jenis Gudeg terakhir ini lebih dikenal dengan sebutan Gudeg Manggar.

Makin terbatasnya bahan baku membuat Gudeg Manggar semakin sulit ditemukan. Menggunakan nangka muda atau gori sebagai bahan utama, Gudeg disajikan bersama bahan masakan lainnya. Gula kelapa, santan, tempe, tahu, daging dan telur ayam. Selain itu Gudeg juga disajikan bersama krecek, kulit lembu atau kerbau yang dimasak lembut. Meski nampak sederhana, Gudeg nyatanya mengandung banyak manfaat bagi tubuh manusia.

Nangka muda yang menjadi bahan dasar Gudeg, kandungan diet sebesar 10,45 persen yang dimiliki nangka muda membuat kandungan serat Gudeg menjadi tinggi. Selain itu proses rebusan nangka muda juga menghasilkan polifenol yang berperan sebagai anti oksidan. Memang untuk memasak Gudeg itu sendiri tidak membutuhkan waktu yang sebentar, karena untuk memasak Gudeg menjadi kering dan menghabiskan airnya juga membutuhkan waktu kurang lebih 7 sampai dengan 8 jam.

Waktu mengolah yang lama ini tidaklah sia-sia, karena bisa menghasilkan rasa manis yang gurih itu. Dan Gudeg kering mampu bertahan lama sampai 24 jam, sehingga sangat cocok untuk dijadikan oleh-oleh. Kini Gudeg telah bertransformasi berubah bentuk dalam kemasan siap saji yang bisa dinikmati di setiap kesempatan. Salah satu pemilik toko Gudeg ‘’Kita lebih memutuskan untuk lebih fokus dan konsentrasi dulu di dalam Gudeg Kaleng.

Karena mengingat juga kita sebagai pelopor dan juga banyak follower-follower kita yang juga sudah mulai, jadi kita memang ingin leading awal memperkuat pondasi kita’’. Berawal dari masakan bagi rakyat yang tertindas dalam penjajahan, Gudeg kini menjelma menjadi masakan yang hadir ke tempat berkelas di seluruh nusantara. Kelezatan rasa Gudeg bercampur dengan keramahan yang ditawarkan Jogjakarta menjadi magnet penarik bagi siapapun yang ingin datang dan kembali ke Jogjakarta.



Sumber : Rahasia Zaman, Trans7

Mengenal Sejarah Upacara Minum Teh Jepang

Negara Jepang memang memiliki keindahan alam yang indah. Hamparan gunung yang berpadu dengan aliran sungai menjadi pemandangan yang dapat memanjakan mata siapa saja. Selain pemandangan yang dimilikinya, Jepang juga memiliki tanaman yang khas asli yang menjadi kebanggaan setiap masyarakatnya yaitu tanaman teh.

akibanation.com

Minum teh memang menjadi kebiasaan setiap orang dalam menikmati waktu senggang mereka. Rasa khas yang diberikan oleh tanaman ini memberikan suasana santai saat menikmatinya. Namun di Jepang ada sebuah upacara minum teh yang dilakukan dengan suasana yang sangat serius namun juga mengandung sebuah filosofi yang telah mendunia.

Baca Juga :
Menguak Tabir Kedigjayaan Gunung Tambora
Fenomena Karst Gunung Kidul Yang Menakjubkan

Tapi sebetulnya dari mana asalnya upacara minum teh ini dan untuk apa maksud dari filosofi yang terkandung di dalamnya. Teh sudah jadi minuman favorit bagi para penikmatnya. Aroma dan rasa yang timbul dari olahan minuman teh semakin memanjakan lidah para penggemarnya. Dengan mudah mereka dapat menemukan hasil olahan teh di berbagai tempat.

Namun dibalik kenikmatan rasanya, ternyata teh memiliki sejarah kelam dalam perjalanannya. Tanaman yang datang dari negeri tirai bambu Tiongkok ini memiliki nama lain Camellia sinensis. Iklim wilayah Tiongkok yang hangat dan lembab membuat teh tumbuh subur. Sebelum menjadi sebuah minuman, tanaman teh sudah digunakan selama bertahun-tahun oleh bangsa Tiongkok untuk pengobatan.

Tanaman teh diyakini mampu membantu mengontrol pendarahan, menyembuhkan luka dan memperbaiki pencernaan. Secara perlahan kehebatan dan kelezatan yang dimiliki oleh daun teh menjadi komoditi yang paling diminati di seluruh dunia. Tak heran bila tingginya minat untuk mendapatkan tanaman teh membuat banyak terjadi konflik di masa lampau.

Salah satunya adalah Boston Tea Party, tingginya harga serta rasa yang dihasilkan oleh tanaman teh membuat beberapa negara memberikan apresiasi lebih saat menikmatinya. Negara Rusia, Inggris, Irak, Tiongkok, India dan Jepang mempunyai tradisi dan upacara hanya untuk menikmati minum teh. Tanaman teh masuk ke negara Jepang dibawa oleh seorang pendeta Budha bernama Eisai pada abad ke 12.

Saat pulang dari negara Tiongkok setelah dikirim oleh penguasa ke Jepang. Awalnya teh yang dibawah oleh bikshu Eisai hanya digunakan untuk pengobatan serta ritual keagamaan di Biara Budha Zen. Namun seiring perjalanan waktu, perlahan Ocha atau Teh mulai digemari oleh para raja, bangsawan dan samurai pada abad ke 15 dan ke 16.

Lahirnya upacara minum teh di Jepang tidak terlepas dari ajaran Budha Zen yang menjadi latar belakang datangnya teh ke negara ini. Upacara yang bersifat sangat religius merupakan ritual penghormatan pada tamu dalam suasana kebersamaan. Pada awal kehadirannya di zaman Edo, upacara minum teh ini hanya dapat dilaksanakan oleh beberapa kalangan yaitu raja, bangsawan dan para samurai.

Kemudian upacara minum teh semakin meluas dan masyarakat umum mulai menikmatinya. Diawali dari seorang Toyotomi Hideyoshi, panglima perang Jepang melaksanakan upacara minum teh di hadapan seluruh prajuritnya untuk memberikan inspirasi dan semangat sebelum menghadapi pertempuran. Sementara itu abad ke 16 juga dinilai sebagai awal semakin merasuknya tradisi minum teh kebuyaan masyarakat Jepang.

Sosok yang paling dikenal dalam upacara minum teh adalah Sen No Rikyu, seorang guru upacara minum teh Jepang yang telah menyempurnakan dari prosesi yang pernah ada sebelumnya. Sen No Rikyu juga mengajarkan konsep Ichigo Ichie atau yang berarti setiap perjamuan upacara minum teh harus dianggap sangat berharga karena tidak bisa diulang.

Pada awal keberadaannya, upacara minum teh ini hanya dapat dilakukan para pria. Namun memasuki era maiji, para wanita diwajibkan untuk mempelajari upacara minum teh sebagai salah satu upaya pemahaman budaya Jepang. Banyaknya penduduk yang mempelajari upacara minum teh memunculkan berbagai aliran dalam mempelajari upacara yang sangat sakral tersebut.

Setiap upacara minum teh, teh hijau berbentuk bubuk yang dibuat dari daun teh jenis tenca yang telah digiling halus menjadi sebuah pilihan. Namun upacara yang disempurnakan oleh kalangan samurai ini menjadi tidak populer di kalangan masyarakat karena tata kramanya yang terlalu kaku. Keinginan masyarakat untuk dapat menikmati teh dengan suasana yang lebih santai membuat aliran upacara minum teh dengan menggunakan jenis teh jenis senca semakin berkembang dan pupuler.

Melimpahnya teh jenis senca yang dihasilkan negara Jepang melatar belakangi pendeta Taisao membuat acara upacara teh baru yang disebut sencado. Sebelum masuk ke dalam tempat upacara minum teh, sang tamu harus terlebih dahulu memberi hormat kepada tuan rumah. Sebelum memulai upacara minum teh, tuah rumah akan menyuguhkan sebuah kue manis sebagai tanda ucapan selamat datang pada tamu.

Setelah kue habis dimakan, sang guru menyiapkan teh untuk diminum. Dalam membuat ocha banyak hal yang harus diperhatikan untuk mendapatkan hasil racikan terbaik. Takaran air dan tingkat suhu air menjadi bagian yang harus diperhatikan untuk menyajikan minuman teh. Dalam proses penyediaan teh harus dilakukan dengan penuh kesabaran.

Meski terkesan rumit dan kaku, setiap langkah dalam pelaksanaan upacara minum teh mengandung filosofi yang dalam. Filosofi yang ditanamkan adalah rasa saling menghargai, menjaga keharmonisan, kesucian, dan kedamaian antar manusia dan alam sekitarnya.

Seiring perkembangan zaman, makna yang terkandung dalam upacara minum teh perlahan mulai luntur. Derasnya arus modernisasi menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tradisi budaya yang mereka miliki pudar dan mulai ditinggalkan kaum muda. Beragam olahan makanan yang terbuat dari teh menjadi salah satu upaya untuk semakin memperkaya warisan yang telah mereka miliki dan mulai memudar.

Upacara minum teh yang ada di negeri sakura ternyata memiliki perjalanan panjang dalam keberadaannya. Meskipun terdapat beberapa aliran, namun hal tersebut tidak mengurangi makna yang terkandung di dalamnya. Dimana proses ini mencoba mempertegas antara kesetaraan serta keselarasan manusia dengan alam sekitarnya.


Sumber : Rahasia Zaman, Trans7

Candi Muara Takus, Peninggalan Terbesar Sriwijaya?

Setiap kali kita membicarakan candi, maka kiblat kita akan langsung mengarahkan ke tanah Jawa. Tapi ternyata Pulau Sumatera juga memiliki sebuah komplek candi dan bahkan diduga merupakan salah satu peninggalan terbesar dari sebuah kerajaan yaitu Kerajaan Sriwijaya. Benarkah demikian? Tidak hanya dianugerahi tambang minyak bumi raksasa dan surga perikanan, Riau juga menjadi saksi bisu perjalanan sejarah.


Berada kurang lebih 130 km arah barat Pekanbaru di Desa Muara Takus Kabupaten Kampar, jejak peninggalan Sriwijaya hingga kini masih tertanam. Seorang Bhiksu Budha Tionghoa bernama I Ching pernah bercerita bahwa dia pernah berjalan dari China menuju India dan dia mengatakan pusat Sriwijaya itu terletak di garis nol khatulistiwa. Sebab pada waktu tengah hari I Ching melihat tongkatnya tidak ada bayangannya.

Baca Juga :
Candi Borobudur Sebagai Penunjuk Waktu Masa Lampau
Fenomena Karst Gunung Kidul Yang Menakjubkan

Sehingga disimpulkan bahwa daerah itu adalah daerah khatulistiwa. Dan dia bercerita bahwa di pusat tersebut dia bertemu seribu bhiksuni yang mengajarkan agama Budha. I Ching pernah datang ke Sriwijaya pada abad ke 7 untuk belajar bahasa sangsekerta. Di balik keindahan candi Muara Takus, ada yang menarik dibalik konstruksinya. Jika pada candi-candi lain pada umumnya menggunakan batu andesit, maka ini berbeda dengan candi Muara Takus.

Candi ini hampir 99 persen bangunan didominasi oleh batu bata. Ada sejarah unik di balik proses pembangunan candi kala itu, sebuah desa di tepi danau menjadi saksinya. Sayang saksi bisu sejarah itu kini sudah tenggalam ditelan arus proyek pembangunan. Keberadaan candi kerap kali dikaitkan dengan peradapan yang pernah lahir dan berkembang. Tidak terkecuali dengan candi Muara Takus. Takus disinyalir berasal dari bahasa Tiongkok dimana ‘’Ta’’ berarti besar, ‘’Ku’’ berarti tua, dan ‘’Se’’ berarti candi.

Sehingga candi Muara Takus berarti candi tua yang besar yang terletak di dekat muara sungai. Lantas kerajaan apa yang lekat dengan candi Muara Takus? Benarkah Sriwijaya? Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan besar. Bahkan negara-negara Asia berebut mengklaim dirinya sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya. Sriwijaya besar karena menjadi pusat penyebaran agama Budha, pusat perdagangan serta erat dengan negara maritim. Jika diperhatikan, terdapat empat bangunan candi dengan struktur yang berbeda, meskipun memiliki fungsi yang sama.

Stupa tinggi yang berbentuk menara dikenal sebagai candi Mahligai memiliki ketinggian 14 meter. Struktur candi memiliki kelengkapan paling bagus, bahkan diperkirakan hingga ujung menara terdapat stupa dengan segala kelengkapannya. Sementara batu fragmen bangunan bergambar fajra dilengkapi biji mantra dengan tulisan negari. Disisi barat Mahligai terdapat candi Palangka dan di bagian selatan berdiri candi Bungsu.

Gugusan candi Muara Takus sebenarnya terdiri dari tujuh buah. Formasi empat candi utama mengalami penambahan seiring dirilisnya temuan baru yakni candi Wajra. Temuan hasil penggalian 200 meter arah timur laut dari komplek percandian utama seakan menambah deretan candi sekaligus menjadi penanda agama Budha Fajrayana, agama yang dikembangkan Sriwijaya sebagai penanda zaman.

Menurut Arkeolog bernama Eri Sudewo mengatakan bahwa ‘’Setelah kami analisis, ternyata tidak satupun dari objek candi yang unsur penyusunnya sama dengan konsep yang berasal dari India. Artinya apa? Yang membuat ini adalah leluhur bangsa Indonesia sendiri. Secara seni maupun ekolografi artinya pakar tentang archa itu menyebutkan ada style seni Sailendra. Nah, ciri-cici style Sailendra itu bisa kita temukan pada archa, dimana itu sama dengan archa-archa yang ditemukan di jawa pada masa Mataram kuno. Jadi artinya, memang klop bahwa objek-objek ini juga berasal dari masa kira-kira abad ke 9 atau 10 Masehi’’.

Memang sempat timbul keraguan tentang orisinalitas candi Muara Takus sebagai peninggalan Budha. Pasalnya ditemukan sosok Ganesha muncul dalam objek temuan. Sosok dewa berkepala Gajah yang kerap dikaitkan dengan agama hindu. Jika dicermati kembali, sampai saat ini para peneliti masih berspekulasi tentang usia candi Muara Takus. Di Riau, bebatuan tua yang disimpan di museum pun tidak banyak menjelaskan bahan materialnya.

Nah, apakah candi Muara Takus merupakan pusat sejarah Sriwijaya? Banyak pendapat yang mendukung hal ini. Namun, selama bukti otentik belum ditemukan, candi Muara Takus masih menjadi misteri rahasia zaman. Hingga saat ini penelitian demi penelitian masih dilakukan demi mengidentifikasi alur sejarah spesifik dari candi Muara Takus, tentunya tidak semata-mata hal ini hanya mengandalkan konstribusi para peneliti, tetapi bagaimana kerjasama serta kesiapan dari pemerintah dan masyarakat mampu berjalan beriringan.



Sumber : Rahasia Zaman, Trans7           

Kategori

Kategori