Mengenal Tradisi Sungkeman Pada Masyarakat Jawa dan Tata Caranya

A. Apa Itu Tradisi Sungkeman?

Bagi kebanyakan orang mungkin melakukan salaman antara satu orang denga orang lain adalah hal yang sudah biasa. Bersalaman bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja. Pada saat berpapasan dengan orang di jalan ataupun menghadiri acara tertentu, disana biasanya orang-orang bersalaman. Tapi di Indonesia ada suatu aktivitas salaman yang terbilang unik dan begitu fenomena. Aktivitas bersalaman tersebut di masyarakat Jawa sering disebut dengan sungkeman. Kata sungkeman berasal dari kata sungkem yang artinya bersimpuh atau duduk dengan berjongkok sambil mencium tangan.

Pada umumnya tradisi sungkeman dilaksanakan oleh orang-orang yang lebih muda terhadap orang yang lebih tua atau dituakan. Namun kebanyakan dan lazimnya aktivitas ini dilakukan oleh seorang anak kepada orang tuanya. Bagi masyarakat Jawa tradisi sungkeman ini merupakan tradisi yang sudah turun temurun semenjak dulu.

Baca Juga :
3 Pesta Budaya dan Tradisi Baubau
Berbagai Ritual Pemakaman Unik Yang Ada Di Indonesia 

B. Sejarah Tradisi Sungkeman

Tidak banyak yang tahu bahwa sebetulnya tradisi silaturahmi atau halal bihalal untuk saling meminta maaf dan saling memaafkan itu ternyata berasal dari kota Solo. Seorang Pengageng Kasentanan Keraton Surakarta bernama Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) menjelaskan tentang asal muasal halal bihalal di Indonesia. Menurutnya tradisi halal bihalal itu awalnya merupakan tradisi sungkeman di dalam Keraton Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Pura Mangkunegaran. Ada sejarah yang menyebutkan bahwa sungkeman massal yang pertama kali dilakukan di zaman KGPAA Sri Mangkunegara I.

Pada waktu itu, beliau bersama-sama dengan seluruh punggawanya memerintahkan untuk berkumpul bersama dan saling bermaaf-maafan sesudah shalat Id dilakukan. Tetapi seiring dengan adanya pergolakan yang ada di Nusantara saat itu, pihak Keraton sendiri tidak dapat leluasa menggelar tradisi sungkeman. Sebabnya dikarenakan kaum kolonial curiga dengan aktivitas sungkeman, dan menganggap pertemuan tersebut sebagai pertemuan yang terselubung untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah. Bahkan diceritakan, pada saat prosesi sungkeman terjadi di gedung Habipraya, Singosaren, pada waktu Lebaran tahun 1930, Tentara Belanda hampir saja menangkap Ir. Soekarno dan R. Radjiman Widyodiningrat yang menjadi dokter pribadi SISKS Paku Buwono (PB) X, Raja Keraton Surakarta.

Soktak saja Paku Buwono X yang pada saat itu juga ada di lokasi, dengan spontan menjawab bahwa itu bukanlah aksi penggalangan massa, akan tetapi merupakan acara halal-bihalal di saat lebaran. Sebenarnya yang dimaksud dengan istilah halal bihalal yang sungkeman itu sendiri.    Namun karena kejadian itulah, akhirnya Paku Buwono X justru malah membuka tradisi sungkeman menjadi sejenis open house layaknya apa yang sering kita lihat sekarang ini. Acara sungkeman sering dilaksanakan di acara-acara seperti perkimpoian, lebaran, perpisahan dll tetapi ada juga yang melaksanakannya diluar waktu-waktu tadi.

Tujuan diselenggarakannya sungkeman sebenarnya merupakan permintaan maaf atas semua perilaku yang lalu yang kurang berkenan dan kuran menyenangkan. Selain itu yang disungkem juga memberikan maaf atas semua kesalahan dan diharapkan doanya bagi yang meminta maaf. Umumnya setiap acara sungkeman ini biasanya diiringi oleh derai air mata sembari menangis karena masing-masing pihak teringat akan dosa-dosa di masa lalu. Dan saat itu yang disungkem memberikan nasehat-nasehat kepada yang sungkeman dengan berbagai nasehat yang baik-baik.

C. Tata Cara Melakukan Sungkeman

Biasanya adat sungkeman itu dilakukan di saat lebaran pertama, misalnya seorang cucu yang mau sungkem kepada kakek dan neneknya maka dia akan menghadap sang kakek dan nenek dan duduk bersimpuh di depan keduanya. Lalu sang cucu mengucapkan kalimat sungkeman dalam bahasa Jawa. Maka sang cucu mengucapkan kalimat dalam bahasa Jawa ‘’Mbah, kulo matur dumateng simbah meniko badhe ngaturaken sedoyo dosa kalepatan kulo, mugi-mugi simbah kerso paring pangapuro dumateng kulo, moten kesupen kulo nyuwun donga pangestu saking simbah”. Atau yang lebih simpel ’’Ngaturaken sugeng riyadi, nyuwun pangapunten sadaya kalepatan kula, nyuwun pangestunipun’’ yang artinya ‘’Saya mengucapkan selamat hari raya, mohon maaf atas segala kesalahan saya, dan minta doa restunya’’.

Umumnya, ungkapan kalimat tersebut akan dijawab dengan permintaan maaf kembali lalu dilanjutkan dengan doa dari orang-orang yang dituakan, didengarkan dengan seksama dan diaminkan oleh orang yang sungkem. Ingat, jangan dulu melepaskan jabatan tangan sebelum orang tua mempersilahkan kita untuk pergi, dan kita tutup dengan mencium tangannya. Pemakaian bahasa sangat diperhatikan dan disesuaikan dengan tingkat dalam bahasa Jawa disesuaikan dengan tingkat usaianya. Contoh kalimat sungkem diatas tidak menjadi hal yang baku, sebab masing-masing bisa menyesuaikan dengan kemampuan dan improvisasi sendiri. Yang terpenting disini adalah niat yang tulus dan rasa ikhlas di dalam permintaan maaf, masalah bahasa bisa menggunakan perkataan sendiri namun tetap memperhatikan kesopanan.

Jika anda ingin menghadap kepada orang tua ataupun orang yang dituakan, kemudian ingin menghaturkan sujud sungkem padanya, maka pintar-pintarlah menyusun kata-kata sendiri yang pantas. Ini juga berlaku pada sungkeman saat prosesi pernikahan, cara yang dilakukan hampir mirip dan kalimatnya bisa disesuaikan sendiri sesuai kebutuhan. Perlu diingat bahwa tradisi sungkeman ini bukanlah bentuk penyembahan, apalagi penyembahan manusia kepada manusia, akan tetapi sungkeman disini adalah suatu bentuk penghormatan kepada orang yang lebih tua. Sungkeman menunjukkan sisi kesopan santunan orang yang lebih muda terhadap yang lebih tua.

Tidak dapat dipungkiri bahwa tradisi sungkeman ini telah menjadi cara yang bisa mendekatkan hubungan erat diantara orangtua dan anaknya, ataupun orang yang lebih muda kepada orang yang lebih tua. Di era globalisasi dan perkembangan zaman seperti sekarang ini, tradisi sungkeman sudah sangat jarang kita jumpai. Padahal kalau dilihat-lihat filsafah sungkeman ini mempunyai makna yang sangat bagus. Kesopan santunan yang mulai luntur pada generasi muda sekarang ini perlu ditanamkan kembali. Inilah mengapa budaya Jawa itu selalu dan senantiasa menjunjung tinggi bakti tulus terhadap kedua orang tua.

Kategori

Kategori