Madura, pulau yang tradisionalnya ‘’Celurit’’. Tidak pas membicarakan Madura tanpa membicarakan Celurit. Seperti halnya Carok, Celurit pun sakral bagi orang Madura. Selain sebuah Identitas, Celurit juga memiliki filosofinya sendiri. Bentuk melengkung menyerupai tanda tanya melambangkan ketidakpuasan orang Madura terhadap fenomena yang ada di sekitarnya. Dari sekedar alat penyabit rumput di ladang, Celurit bertransformasi menjadi simbol perlawanan orang Madura di pinggiran, terutama saat penjajahan Belanda di abad ke 18.
bisikanalamraya.blogspot.co.id
Celurit adalah harga itu sendiri, menghina harga diri berarti melukai secara fisik. Tiga abad lalu konon tradisi Carok lahir dari perkelahian antara Sakerah, mandor tebu asal Pasuruan dengan Markasan dan Matkabri, dua bersaudara yang menjadi antek Belanda. Saat duel Sakerah menggunakan celurit untuk bertahan. Sayang Sakerah tertangkap dan dihukum gantung oleh Belanda. Sejak saat itu, Celurit yang tadinya hanya alat untuk berkebun, bertuah sebagai simbol keberanian kaum pinggiran.
Baca Juga :
Pesona Indah Dataran Tinggi Dieng
Menguak Tabir Kedigjayaan Gunung Tambora
Awalnya Carok lebih hebat dari aksi Koboi di Barat. Duel satu lawan satu dilakukan di lapangan terbuka. Namun Carok bukanlah tindak preman. Pasalnya seringkali ada wasit dan justru restu dari keluarga masing-masing. Keberadaan tradisi Carok tidak dapat dipisahkan dari Tradisi Nyikep yang dilakukan oleh masyarakat Madura sejak dahulu. Tradisi yang mengharuskan kaum pria membawa senjata tajam seperti Celurit saat berada di luar rumah sebagai perlindungan dari marabahaya yang mengintai.
Celurit juga tak ubahnya istri, ibarat pengganti rusuk laki-laki yang hilang satu, perempuan menempati tahta kehormatan tertinggi laki-laki Madura. Maka Celurit selalu disandang di pinggang sebelah kiri. Carok pun tak bisa dibilang murni kriminal, karena sebuah persetujuan sosial terlanjur lekat dengan Carok. Sebelum duel, selamatan dan pembekalan untuk anggota keluarga yang akan melakukan Carok jamak diritualkan. Harga diri kini terbenam di ujung Celurit. Akibatnya, seorang Madura lebih memilih menyelesaikan sendiri masalahnya.
Tak heran kekerasan memperoleh pembenaran ditengah ketidakpastian. Budaya Carok lahir sebagai jawaban orang Madura terhadap kosongnya tatanan sosial. Sekitar abad ke 18, Madura memang layaknya tanah tak bertuan. Saat itu kebangkrutan kekuasaan menimpa kaum priainya. Kondisi yang sama berulang ketika periode berikutnya, kiyai kadung masuk ke jalur politik formal hanya karena. Hanya kalangan bloker keamanan informal yang mampu masuk ke dalam sendi orang Madura selama lebih dari dua abad ini.
Budaya Patriarki pun turut menyuburkan praktik Carok. Bagi orang Madura, Harga Tahta dan Wanita tak lain adalah simbol kejantanan sekaligus taruhan kehormatan bagi laki-laki. Hingga pembalasan harga diri yang tercoreng lantak oleh kepuasan di akhir pertarungan. Kini secara perlahan nilai-nilai yang terkandung dalam duel Carok mulai mengalami perubahan. Tidak lagi menjadi ajang duel demi mengembalikan harga diri, carok justru menjadi media pelampiasan emosi semata.
Sumber : Rahasia Zaman, Trans7
Baca Juga :
Pesona Indah Dataran Tinggi Dieng
Menguak Tabir Kedigjayaan Gunung Tambora
Awalnya Carok lebih hebat dari aksi Koboi di Barat. Duel satu lawan satu dilakukan di lapangan terbuka. Namun Carok bukanlah tindak preman. Pasalnya seringkali ada wasit dan justru restu dari keluarga masing-masing. Keberadaan tradisi Carok tidak dapat dipisahkan dari Tradisi Nyikep yang dilakukan oleh masyarakat Madura sejak dahulu. Tradisi yang mengharuskan kaum pria membawa senjata tajam seperti Celurit saat berada di luar rumah sebagai perlindungan dari marabahaya yang mengintai.
Celurit juga tak ubahnya istri, ibarat pengganti rusuk laki-laki yang hilang satu, perempuan menempati tahta kehormatan tertinggi laki-laki Madura. Maka Celurit selalu disandang di pinggang sebelah kiri. Carok pun tak bisa dibilang murni kriminal, karena sebuah persetujuan sosial terlanjur lekat dengan Carok. Sebelum duel, selamatan dan pembekalan untuk anggota keluarga yang akan melakukan Carok jamak diritualkan. Harga diri kini terbenam di ujung Celurit. Akibatnya, seorang Madura lebih memilih menyelesaikan sendiri masalahnya.
Tak heran kekerasan memperoleh pembenaran ditengah ketidakpastian. Budaya Carok lahir sebagai jawaban orang Madura terhadap kosongnya tatanan sosial. Sekitar abad ke 18, Madura memang layaknya tanah tak bertuan. Saat itu kebangkrutan kekuasaan menimpa kaum priainya. Kondisi yang sama berulang ketika periode berikutnya, kiyai kadung masuk ke jalur politik formal hanya karena. Hanya kalangan bloker keamanan informal yang mampu masuk ke dalam sendi orang Madura selama lebih dari dua abad ini.
Budaya Patriarki pun turut menyuburkan praktik Carok. Bagi orang Madura, Harga Tahta dan Wanita tak lain adalah simbol kejantanan sekaligus taruhan kehormatan bagi laki-laki. Hingga pembalasan harga diri yang tercoreng lantak oleh kepuasan di akhir pertarungan. Kini secara perlahan nilai-nilai yang terkandung dalam duel Carok mulai mengalami perubahan. Tidak lagi menjadi ajang duel demi mengembalikan harga diri, carok justru menjadi media pelampiasan emosi semata.
Sumber : Rahasia Zaman, Trans7
EmoticonEmoticon